Senin, 04 April 2011

Komoditi Cabai Pedas dari Amrik


Orang Indonesia mana nggak doyan cabai? Kecuali, mungkin orang yang bermasalah berat dengan urusan pencernaan. Atau orang yang sedang mengidap penyakit wasir. Karena rasanya yang pedas dan panas, dapat menjadi penambah selera makan tak tertandingi. Adalah Wilbur Scoville, yang menemukan alat ukur kepedasan cabai. Dan dengan alat ukur itu, dapat dipastikan penikmat makanan berbasis cabai tidak akan mengeluh. 

Meski Indonesia jadi negara di mana cabai dapat tumbuh segar dan tersebar di seluruh wilayah negeri ini, ternyata cabai bukan merupakan tanaman yang berasal dari bumi pertiwi. Diperkirakan, tumbuhan ini “nyasar” dari benua Amerika, lalu menyebar ke wilayah Eropa hingga ke Asia termasuk ke nusantara.

Tetapi di Indonesia, cabai (capsicum annuum) sangat dicintai. Coba carilah rumah makan mana yang tidak menyediakan cabai di Indonesia? Rasa-rasanya, baik itu warteg atau pun restoran terkenal sekalipun, apalagi yang namanya rumah makan masakan padang pasti akan menyajikan hidangan pedas dari cabai ini. Entah itu untuk gulai atau beraneka jenis sambal.

Walaupun di Indonesia juga dikenal rasa pedas dari bumbu masakan lain seperti merica, tetapi mengkonsumsi cabai tetap terasa menjadi ritual istimewa. Cukup dipetik langsung dari pohonnya, gigit langsung atau sebelum masuk mulut “disandingkan” dengan makanan gurih terlebih dahulu. Lalu rasakan sensasinya yang luar biasa, atau sering diistilahkan orang dengan “pecah dimulut”.

Sensasi itu karena memang cabai mengandung zat capsaicin, yaitu zat yang bersifat seperti minyak dan "membakar" sel-sel pengecap di lidah sehingga menciptakan rasa pedas tersebut.

Dan rupanya, tingkat rasa pedas cabai dapat diukur dengan satuan scoville. Satuan ukur ini dikembangkan Wilbur Scoville, pada tahun 1912. Satuan ini mengukur tingkat kepedasan dalam skala 0 - 300.000, yang didasarkan pada pengukuran konsentrasi kelarutan.

Dalam proses pengukuran ini, bubuk cabai murni dilarutkan dalam larutan air dan gula, dan diukur dengan panel khusus sambil dikurangi konsentrasinya. Kemudian kadar bubuk cabai murni yang larut sampai tidak ada rasa pedas lagi akan menjadi angka hasil pengukuran tersebut.

Dari hasil pengukuran ini, selanjutnya cabai-cabai ini dapat dikelompokkan menjadi menjadi cabai manis, agak pedas, pedas sedang, pedas, dan sangat pedas. Cabai manis biasanya berkisar pada skala 0 - 1.000 dalam satuan Scoville. Contohnya cabai manis adalah paprika yang biasa disajikan pada makanan berbasis salad. Juga cabai seperti pimentos, rellenos, dan sweet banana peppers termasuk dalam kelompok ini.

Sementara cabai berskala 1.000 - 3.000 digolongkan dalam kelompok agak pedas. Mungkin kelompok ini sepertinya tidak akrab dengan kita.

Cabai merah besar yang biasa kita temui dan kita makan itu masuk di kelompok pedas sedang, dengan skala 3.000-6.000 satuan Scoville. Di kelompok ini juga ada cabai yang sangat terkenal di Meksiko, yaitu jalapeno. Kelompok cabai ini sangat pedas, pada skala 6.000-50.000 satuan Scoville. Contohnya di nusantara dengan mudah dapat kita temui, bentuknya kecil dan mungil dengan rasa super “nyelekit” yakni, cabai rawit.

Lalu ada kelompok cabai yang terakhir, berskala 50.000-300.000 satuan Scoville atau tingkat sangat pedas. Berdasarkan pengukuran, predikat cabai terpedas jatuh pada jenis cabai habanero. Dengan tingkat kepedasan lebih dari 300.000 satuan Scoville! Dan memang, nampaknya perlu kemampuan lebih untuk menyantap cabai “luar biasa” ini dalam jumlah banyak.

Meski mengkonsumsi cabai di mulut kadang terasa “meledak” seperti menelan mercon, tetapi belum pernah terdengar ada orang yang kapok makan cabai. Karena cabai memang seperti menjadi bagian kegiatan rutin kuliner nan menggoda. Tengoklah segala kegiatan cemilan asli bangsa kita. Apakah itu tahu goreng, tempe mendoan, combro, bala bala, bakwan udang atau jagung, memang lebih enak jika “diselipi” cabai. Entah itu irisan cabai merah maupun cabai rawit bulat yang dahsyat itu. Belum lagi untuk jenis makanan lainnya. Pokoknya semua makanan bangsa kita itu sepertinya tidak jauh dari yang namanya cabai. Mungkin cuma minuman dan penganan mengandung gula saja yang tidak bersinggungan dengan si cabai ini.

Bibit Impor
Di Indonesia, sentra cabai dapat ditemui di beberapa daerah, diantaranya Brebes, Tegal, Rembang. Di Pulau Jawa, produksi cabai mencapai sekitar 65 persen, dimana produksi cabai per bulan sekitar lebih dari 70 ribu ton. Apalagi menjelang hari raya biasanya jumlah ini juga mengalami peningkatan karena permintaan yang naik lebih dari 10 persen.

Dan uniknya, memang cabai justru lebih memiliki eksistensi penggunaan di Asia ketimbang dari Amerika, asal nenek moyangnya. Apalagi proses kesuksesan penyebaran cabai di daratan Asia memang karena terdapatnya kecocokan iklim. Selain kecocokan iklim, tentu saja juga ada kecocokan untuk urusan lidah dan perut. Bahkan di Indonesia, yang dalam kenyataan wilayahnya dapat menumbuhkan cabai di mana saja, tetap “kehausan” untuk urusan mengkonsumsi si pedas ini. Sehingga harus menorehkan catatan impor segala untuk urusan benih.

Biasanya benih cabai diimpor dari negara Taiwan, Thailand dan Korea Selatan. Dalam urusan harga, benih cabai impor dan lokal jelas jauh berbeda. Perbandingannya, harga benih cabai impor sekitar Rp 80 ribu per 10 gram. Sedangkan untuk ukuran yang sama, cabai lokal hanya sekitar Rp 11.500.

Dan memang harga berbicara dalam urusan ini. Sebab benih impor memiliki keunggulan tersendiri. Baik itu dari ketahanan simpan yang lebih lama dan produktivitas yang tinggi.

Tetapi berdasarkan data pihak peneliti di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) diketahui, meski cabai dari benih impor memiliki berbagai keunggulan ketika ditanam, tetapi soal bentuk dan rasa boleh diuji.

Cabai lokal kadang terlihat tidak menarik, karena tidak berwarna merah menyala dan mulus. Tetapi ketika diulek, cabai lokal ternyata lebih liat. Kalau urusan perbandingan ini, silahkan bertanya pada ibu rumah tangga yang doyan mengulek sambal di rumah. Tentu mereka akan lebih memilih cabai lokal ini, karena hasil ulekkannya dapat lebih terlihat lumat dan halus daripada cabai dari benih impor.

Untuk kepentingan itulah peneliti mengembangkan berbagai varietas cabai local. Dan pihak Balitsa, Badan Litbang Pertanian, telah mencoba mengangkat varietas lokal dengan melakukan pemuliaan. Sejumlah varietas cabai lokal yang memiliki keunggulan seperti varietas Tanjung 1, varietas Tanjung 2, dan varietas Lembang 1. Produk lokal ini memiliki karakteristik berpotensi hasil sekitar 9 - 18 ton per hektar, umur genjah, cocok di tanam didataran rendah dan sedang. Semoga dari upaya pengembangan varietas local itu kita tidak lagi sibuk bergantung pada impor. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar